18 Mei 2013

Resensi Sepatu Dahlan: Dua Mimpi Dahlan


Judul Novel     : Sepatu Dahlan
Pengarang       : Krishna Pabichara
Penerbit           : Noura Books, Jakarta
Cetakan            : I, Mei 2012
Tebal Buku      : xvii + 390 halaman
                           
“Tidak ada seorangpun yang dilahirkan  dalam keadaan pintar”. Itulah kiranya petikan kata mutiara yang cocok untuk  dijadikan pijakan  hidup  dalam  menuntut ilmu dan memperbaiki kualitas diri.
Keberhasilan, kemenangan dan kesuksesan dalam hidup hanya dapat digapai dengan tekad yang besar dan kerja keras. Tak ada yang sulit dan tak ada yang tak mungkin selama kita mau berusaha dengan disertai keikhlasan dalam mewujudkan impian. Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan porsi keberhasilan dalam hidupnya bahkan jika ia terlahir dari keluarga miskin sekalipun.
Novel yang berjudul “Sepatu Dahlan” karya Khrisna Pabichara merupakan novel yang banyak diburu oleh khalayak saat ini. Tidak lain, karena novel ini berisi kisah nyata yang terinspirasi dari bapak menteri BUMN kita Dahlan Iskan. Kemasan novel yang mengisahkan tentang perjuangan dan tekad yang luar biasa seorang Dahlan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik serta untuk mewujudkan impian- impian nya.
Sosok Dahlan yang di lahirkan di salah satu kampung bernama Kebon Dalem, Kabupaten Magetan, merupakan sebuah kampung yang bisa dikatakan semua warganya miskin. Untuk bertahan hidup dan mempertahankan kebulan asap dapur saja nyaris semua warganya bekerja sebagai buruh. Ada juga yang menjadi kuli nyeset di ladang – ladang tebu. Namun, kemiskinan bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menyekolahkan anak- anak mereka karena bagi mereka menyekolahkan anak tetap nomor satu.
Dua angka merah yang tertera di ijazahnya membuat ia harus mengubur cita- citanya untuk masuk di sekolah yang selama ini ia idamkan dan menuruti pilihan bapaknya yaitu mondok di Pesantren Takeran. Setiap hari ia harus menyisir jalan  sepanjang enam kilometer tanpa alas kaki. Salah satu impian terbesar dalam hidupnya adalah keinginannya untuk membeli sepatu dan sepeda. Upah dari nguli nyeset yang sering dilakoninya sejak kelas 3 SR senantiasa di tabung untuk membeli dua benda tersebut. Namun, ia harus merelakan tabungannya itu untuk memenuhi kebutuhan yang lebih urgen lagi daripada impiannya tersebut yaitu kebutuhan mengisi perut.
Hidup dalam kesederhanaan membuat seorang Dahlan tak pernah membayangkan bisa makan ikan- ikan segar atau opor ayam yang tersaji di meja makan. Bisa makan nasi tiwul merupakan anugrah Tuhan yang sungguh amat disyukuri. Tahu goreng, ikan teri, sambal, dan nasi merupakan makanan yang mewah dalam keluarganya . Rasa sakit yang melilit- lilit perut karena kelaparan bukan merupakan teman asing baginya. Baginya kemiskinan bukan untuk ditangisi, kemiskinan harus dijalani apa adanya. Karena kemiskinan yang dijalani denga cara tepat, akan mematangkan jiwa.
Hidup miskin harta tak membuat ia dan keluarganya lantas miskin iman. Dalam ajaran keluarganya, semiskin apapun yang penting adalah tetap jujur. Bapak dan ibunya tak rela kalau harus meminta- minta belas kasihan kepada orang lain apalagi harus mencuri demi mendapatkan pengganjal perut.
Petikan langsung dalam novel tersebut yang dilontarkan kakak perempuannya dan sekaligus menyesakkan dada seorang Dahlan, yakni ketika kakaknya berkata:Ojo wedi mlarat yang penting tetap jujur. Kita boleh miskin harta dik, tapi kita ndak boleh miskin iman”.
Hidup tanpa seorang ibu dalam usia yang masih cukup muda merupakan hal yang tidak mudah. Tak ada lagi sapaan hangat atau elusan mesra di kepala. Tak ada lagi senyum lembut dan mata berbinar. Tak ada lagi yang menyiapkan sarapa pagi. Janji untuk membelikan sepatu baru hanyalah sebuah kenangan. Akan tetapi, baginya hidup terus bergerak menyisakan kenangan. Ia harus belajar kehilangan dan tidak boleh terus- terusan larut dalam kesedihan.
Namun hiduplah yang mengajarinya untuk terus berjuang dan tidak mau menyerah. Semua itu tak lantas membuatnya patah arang hingga sampai akhirnya ia terpilih sebagai lurah pondok dan ketua tim bola voli. Salah satu kisah yang tak kalah mengharukan yakni ketika menjelang pertandingan voli, adiknya terkulai lemas, badannya panas dan ternyata di perutnya terdapat lilitan sarung yang sangat ketat dan hal itu merupakan cara termudah bagi mereka untuk mengganjal perut yang lapar.
Man Jadda Wa Jada (siapa yang bersungguh-sungguh ia pasti akan mendapatkannya). Akhirnya pertama kali dalam hidupnya ia merasakan memakai sepatu yakni ketika pertandingan final bola voli. Dimana sepatu itu didapatkan dari penggalangan dana yang diam- diam dilakukan oleh teman- temannya. Dan disitulah akhirnya timnya memenangkan pertandingan dan meraih piala untuk pertama kalinya. Selepas itu nasib baik mulai mendatanginya yakni ia diminta untuk menjadi pelatih bola voli dengan upah yang cukup lumayan.
Singkat cerita, mimpi yang selama ini ia cita- citakan terwujud juga. Upah dari melatih voli adalah modalnya untuk membeli sepatu dan sepeda. Walaupun sepeda itu didapatkannya dengan mencicil empat ribu setiap bulan kepada temannya Arif. Selain itu pah yang ia dapatkan masih cukup untuk dibelikan beras dan kebutuhan yang lainnya.
Hemat kata, novel Sepatu Dahlan adalah sebuah novel yang didalamnya tersemat banyak sekali pelajaran hidup yang sarat akan motivasi dan inspirasi yang membuat orang tergerak untuk bangkit dan terbuka mata hatinya. Hidup dalam kesederhanaan dan kemiskinan tak lantas menjadikan seseorang kehilangan hak untuk berhasil dan mewujudkan cita- cita. Karena hakikatnya segala perubahan dalam diri seseorang itu tergantung kemauan dan kerja keras orang itu sendiri bukan orang lain.
Terlepas dari itu semua, tentunya kita yang sekarang ini hidup di era modern dimana sarana komunikasi dan transportasi sudah dapat kita akses disegala penjuru dunia. Maka merupakan hal yang sangat lucu jika kita kalah semangat dibandingkan seorang Dahlan yang begitu gigih meraih cita- citanya meskipun medan yang harus ia lalui bisa terbilang sulit tidak seperti kita saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar