Judul Novel : Sepatu Dahlan
Pengarang : Krishna Pabichara
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal Buku : xvii + 390 halaman
“Tidak ada seorangpun yang
dilahirkan dalam keadaan pintar”. Itulah kiranya petikan kata mutiara yang
cocok untuk dijadikan pijakan hidup dalam
menuntut ilmu dan memperbaiki kualitas diri.
Keberhasilan, kemenangan dan
kesuksesan dalam hidup hanya dapat digapai dengan tekad yang besar dan kerja
keras. Tak ada yang sulit dan tak ada yang tak mungkin selama kita mau berusaha
dengan disertai keikhlasan dalam mewujudkan impian. Karena setiap orang
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan porsi keberhasilan dalam hidupnya
bahkan jika ia terlahir dari keluarga miskin sekalipun.
Novel yang berjudul “Sepatu
Dahlan” karya Khrisna Pabichara merupakan novel yang banyak diburu oleh
khalayak saat ini. Tidak lain, karena novel ini berisi kisah nyata yang
terinspirasi dari bapak menteri BUMN kita Dahlan Iskan. Kemasan novel yang
mengisahkan tentang perjuangan dan tekad yang luar biasa seorang Dahlan untuk
menggapai kehidupan yang lebih baik serta untuk mewujudkan impian- impian nya.
Sosok Dahlan yang di
lahirkan di salah satu kampung bernama Kebon Dalem, Kabupaten Magetan, merupakan sebuah kampung yang
bisa dikatakan semua warganya miskin. Untuk bertahan hidup dan mempertahankan kebulan
asap dapur saja nyaris semua
warganya bekerja sebagai
buruh. Ada juga yang menjadi kuli nyeset di ladang – ladang tebu. Namun,
kemiskinan bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menyekolahkan anak- anak
mereka karena bagi mereka menyekolahkan anak tetap nomor satu.
Dua angka merah yang tertera
di ijazahnya membuat ia harus mengubur cita- citanya untuk masuk di sekolah
yang selama ini ia idamkan dan menuruti pilihan bapaknya yaitu mondok di
Pesantren Takeran. Setiap hari ia harus menyisir jalan
sepanjang enam kilometer tanpa alas kaki. Salah satu impian terbesar
dalam hidupnya adalah keinginannya untuk membeli sepatu dan sepeda. Upah dari nguli
nyeset yang sering dilakoninya sejak kelas 3 SR senantiasa di tabung untuk
membeli dua benda tersebut. Namun, ia harus merelakan tabungannya itu untuk
memenuhi kebutuhan yang lebih urgen lagi daripada impiannya tersebut yaitu kebutuhan
mengisi perut.
Hidup dalam kesederhanaan
membuat seorang Dahlan tak
pernah membayangkan bisa makan ikan- ikan segar atau opor ayam yang tersaji di
meja makan. Bisa makan nasi tiwul merupakan anugrah Tuhan yang sungguh
amat disyukuri. Tahu goreng, ikan teri, sambal, dan nasi merupakan makanan yang
mewah dalam keluarganya . Rasa sakit yang melilit- lilit perut karena kelaparan
bukan merupakan teman asing baginya. Baginya kemiskinan bukan untuk ditangisi,
kemiskinan harus dijalani apa adanya. Karena kemiskinan yang dijalani denga
cara tepat, akan mematangkan jiwa.
Hidup miskin harta tak
membuat ia dan keluarganya lantas miskin iman. Dalam ajaran keluarganya, semiskin
apapun yang penting adalah tetap jujur. Bapak dan ibunya tak rela kalau harus
meminta- minta belas kasihan kepada orang lain apalagi harus mencuri demi
mendapatkan pengganjal perut.
Petikan langsung dalam novel tersebut yang dilontarkan kakak
perempuannya dan sekaligus menyesakkan
dada seorang Dahlan,
yakni ketika kakaknya berkata: “ Ojo
wedi mlarat yang penting tetap jujur. Kita boleh miskin harta dik, tapi
kita ndak boleh miskin iman”.
Hidup tanpa seorang ibu dalam usia yang masih cukup muda merupakan hal
yang tidak mudah. Tak ada lagi
sapaan hangat atau elusan mesra di kepala. Tak ada lagi senyum lembut dan mata
berbinar. Tak ada lagi yang menyiapkan sarapa pagi. Janji untuk membelikan
sepatu baru hanyalah sebuah kenangan. Akan tetapi, baginya hidup terus bergerak menyisakan
kenangan. Ia harus belajar kehilangan dan tidak boleh terus- terusan larut
dalam kesedihan.
Namun hiduplah yang
mengajarinya untuk terus berjuang dan tidak mau menyerah. Semua itu tak lantas
membuatnya patah arang hingga
sampai akhirnya ia terpilih sebagai lurah pondok dan ketua tim bola voli. Salah satu kisah yang tak kalah
mengharukan yakni ketika menjelang pertandingan voli, adiknya terkulai lemas,
badannya panas dan ternyata di perutnya terdapat lilitan sarung yang sangat
ketat dan hal itu merupakan cara termudah bagi mereka untuk mengganjal perut
yang lapar.
Man Jadda Wa Jada (siapa yang bersungguh-sungguh ia pasti akan
mendapatkannya). Akhirnya pertama
kali dalam hidupnya ia merasakan memakai sepatu yakni ketika pertandingan final bola voli. Dimana
sepatu itu didapatkan dari penggalangan dana yang diam- diam dilakukan oleh
teman- temannya. Dan disitulah akhirnya timnya memenangkan pertandingan dan meraih
piala untuk pertama kalinya. Selepas itu nasib baik mulai mendatanginya yakni
ia diminta untuk menjadi pelatih bola voli dengan upah yang cukup lumayan.
Singkat cerita, mimpi yang
selama ini ia cita- citakan terwujud juga. Upah dari melatih voli adalah modalnya
untuk membeli sepatu dan sepeda. Walaupun sepeda itu didapatkannya dengan
mencicil empat ribu setiap bulan kepada temannya Arif. Selain itu pah yang ia
dapatkan masih cukup untuk dibelikan beras dan kebutuhan yang lainnya.
Hemat kata, novel Sepatu Dahlan adalah sebuah novel yang didalamnya tersemat
banyak sekali pelajaran hidup
yang sarat akan motivasi dan inspirasi yang membuat orang tergerak untuk bangkit
dan terbuka mata hatinya. Hidup dalam kesederhanaan dan kemiskinan tak lantas
menjadikan seseorang kehilangan hak untuk berhasil dan mewujudkan cita- cita.
Karena hakikatnya segala perubahan dalam diri seseorang itu tergantung kemauan
dan kerja keras orang itu sendiri bukan orang lain.
Terlepas dari itu semua, tentunya
kita yang sekarang ini hidup di era modern dimana sarana komunikasi dan transportasi
sudah dapat kita akses disegala penjuru dunia. Maka merupakan hal yang sangat lucu jika kita
kalah semangat dibandingkan seorang Dahlan yang begitu gigih meraih cita-
citanya meskipun medan yang harus ia lalui bisa terbilang sulit tidak seperti
kita saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar