KONDISI MASYARAKAT ARAB (PRA
ISLAM) JAHILIYAH SEBELUM ISLAM DAN MENJELANG KEDATANGAN ISLAM
Makalah ini ditulis sebagai tugas
mata kuliah Dirosah
Al-Mujtama’at al-Araby I
Pembimbing :
M. Anwar Mas’adi, M.A.
Oleh :
Siti Humayyah (10310011)
Muhammad Nadlir (10310031)
Ahmad
Khozin (10310047)
Abdul Wahab Hasbullah (10310053)
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS
HUMANIORA DAN BUDAYA
UIN
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Secara umum
sejarah Arab terbagi atas tiga periode dan masyarakat Jahiliyah ini periode
yang kedua. Jazirah Arab secara geografis terdiri dari pada pasir dan tanah
subur. Kawasan padang pasir yang mendominasi adalah orang arab sehingga
menciptakan karakeristik orang-orang yang keras . tetapi, padang pasir ini di
kelilingi oleh oase-oase yang berjumlah terbatas. Sehingga menyebabkan corak
hidup yang sangat primitif di zaman jahiliyah ( wildana wargadinata dan laily
fitriani, 2008:45).
Istilah “
Jahiliyah “ biasanya di artikan dengan masa kebodohan kehidupan barbar . kata
arab ini di dalam kamus bahasa indonesia diterjemahkan dengan “ kebodohan “
(Risa Agustin, TT:273) . Dalam bahasa arab جهل – يجهل – جهلا و جها لة bermakna “
tidak tahu , bodoh, pandir “ ( ahmad warson munawwir, 1984:219). sebenarnya masyarakat jahiliyah itu tidak
seperti yang kita anggap bahwasannya orang yang hidup pada masa itu orangnya
bodoh. Padahal mereka juga memiliki peradaban yang tinggi .
Masyarakat
jahiliyah itu berada di wilayah arab utara terutama hijaz . Negeri Hijaz tidak
pernah di jajah atau di pengaruhi oleh negara lain . salah satu konsep
keagamaan yang di kenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan . Bagi
masyarakat hijaz Allah merupakan Tuhan yang paling utama meskipun bukan
satu-satunya. Kondisi ekonominya mengikuti kondisi sosial yang bisa di lihat
dari jalan kehidupan bangsa arab ( syaikh syafiyurrahman al-mubarakhful, 2009 :
34). Kebudayaan mereka yang sangat terkenal dalam hal puisi mereka sangat kaya
akan bahasa dan berperan penting dalam hal menyebarkan puisi.
Kita
berpandangan bahwasannya masyarakat jahiliyah itu adalah makhluk yang tidak
berguna dan masyarakat bodoh . Padahal sejarah mencatat bahwa merekalah
kemudian membuat sejarah dunia yang mengagumkan bahkan merekalah yang telah
meningkatkan kebudayaan umat manusia setelah mereka memeluk islam ( wildana
wargadinata dan layli fitriani , 2008:60 ).
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apakah definisi
Masyarakat Jahiliyah?
2. Bagaimanakan keadaan dan kondisi Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum
Islam dan Menjelang Kedatangan Islam?
3.
Bagaimana Karakter Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum Islam dan
Menjelang Kedatangan Islam?
4.
Apa saja kota-kota
utama di Hijaz?
5.
Apa Pengaruh Kebudayaan Saba, Abissinia, Persia, dan Gassan
terhadap Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum Islam dan Menjelang
Kedatangan Islam?
1.3
Tujuan
penulisan makalah
1. Untuk mengetahui definisi
Masyarakat Jahiliyah.
2. Untuk mengetahui
keadaan dan kondisi Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum Islam dan
Menjelang Kedatangan Islam.
3.
Untuk mengetahui Karakter Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum Islam dan
Menjelang Kedatangan Islam.
4.
Untuk mengetahui
kota-kota utama di Hijaz.
5.
Untuk mengetahui Pengaruh Kebudayaan Saba, Abissinia, Persia, dan
Gassan terhadap Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum Islam dan
Menjelang Kedatangan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Masyarakat Jahiliyah
Istilah
jahiliyah yang biasanya diartikan sebagai “masa kebodohan” atau “ kehidupan
barbar”, sebenarnya berarti bahwa ketika itu orang-orang Arab tidak memiliki
otoritas hukum, nabi, dan kitab suci. Pengertian itu dipilih karena kita tidak
bisa mengatakan bahwa masyarakat yang berbudaya dan mampu baca tulis seperti
masyarakat Arab selatan disebut sebagai masyarakat bodoh dan barbar. Karena
keinginannya yang kuat untuk memalingkan masyarakat dari gagasan-gagasan
keagamaan pra-Islam, terutama tentang penyembahan berhala, Muhammad yang
menganut paham monoteisme akhirnya mendeklarasikan bahwa agama baru yang ia
bawa menghapus semua agama sebelumnya, belakangan hal itu dimaknai sebagai
bentuk larangan terhadap gagasan dan cita-cita pra-Islam. Meski demikian,
gagasan-gagasan yang sudah tumbuh tidak mudah untuk dihilangkan, dan satu suara
saja tidak cukup kuat untuk menghilangkan masa lalu. (Philip K. Hitti:2002:108)
2.2 kondisi Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum
Islam dan Menjelang Kedatangan Islam
2.2.1 Kondisi Sosial Masyarakat Jahiliah
Secara umum,
sejarah Arab terbagi ke dalam tiga periode utama:
1.
Periode Saba-Himyar, yang berakhir pada awal abad keenam Masehi.
2.
Periode Jahiliyah, yang dalam satu segi dimulai dari penciptaan
Adam hingga kedatangan Muhammad, tetapi lebih khusus lagi__ seperti yang
digunakan dalam buku ini__ meliputi kurun satu abad menjelang kelahiran islam.
3.
Periode Islam, sejak kelahiran Islam hingga masa sekarang.
Sebagian
besar masyarakat Arab Utara, termasuk Hijaz dan Najed adalah masyarakat Nomad.
Sejarah orang-orang baduui pada dasarnya dipenuhi dengan kisah peperangan
gerilya, yang disebut dengan ayyam al-Arab (Hari-hari Orang Arab).
Selama periode itu terjadi bebagai serangan dan perampokan, tanpa pertumpahan
darah. Masyarakat yang bermukim di Hijaz dan Najed tidak dikenal sebagai
pemilik peradaban yang maju, keadaan mereka berbeda dengan tetangga dan kerabat
mereka, yaitu orang-orang Nabasia, Palmyra, Gassan dan Lakhmi, oleh karena itu
kajian kita tentang periode jahiliyah dibatasi pada analisis tentang berbagai
pertempuran antara suku-suku badui utara sekitar satu abad sebelum Hijrah, dan
pada catatan tentang pengaruh budaya-budaya luar terhadap kehidupan penduduk
Hijaz menjelang kedatangan islam.
Catatan yang ada hanya memberikan
sedikit informasi tentang periode Jahiliyah. Sumber-sumber yang menjelaskan
periode ini, karena orang-orang Arab Utara tidak punya budaya tulis, hanyalah
riwayat, legenda, peribahasa, dan terutama sya’ir yang sayangnya tidak satupun
dituangkan dalam bentuk tulisan sebelum abad ke dua dan ke tiga Hijriah.
Orang-orang Arab Utara baru mengembangkan budaya tulis menjelang masa Muhammad.
Salah satu fenomena sosial yang
menggejala di Arab menjelang kelahiran islam adalah apa yang dikenal dengan
sebutan “ Hari-hari orang Arab “ (ayyam al-Arab). Ayyam al-Arab merujuk
pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar
hewan ternak, padang rumput atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan
seringnya terjadi perampokan dan penyeranganya, dan memunculkan sejumlah
pahlawan lokal. Para pemenang dari suku-suku yang bersengketa menghasilkan
perang sya’ir yang penuh kecaman diantara para penya’ir yang berperan sebagai
juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap untuk
berperang, orang-orang badui tidak serta merta berani mati. Jadi mereka
bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah
yang kita baca. Meskipun demikian Ayyam al-Arab merupakan cara alami
untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang badui yang biasanya hidup dalam
kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jatidiri
dan watak sosial. Berkat Ayyam al-Arab itulah pertarungan antar suku menjadi
salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.
Salah satu peperangan antar
suku-suku badui yang paling awal dan paling terkenal adalah perang Basus yang
terjadi pada akhir abad kelima antara Banu Bakr[1]
dan keluarga dekat mereka dari Banu Taghlib di Arab sebelah timur laut. Kedua
suku itu beragama kristen dan mengklaim sebagai keturunan Wa’il. Konflik
diantara mereka muncul karena seekor unta betina milik seorang perempuan tua
suku Bakr bernama Basus dilukai oleh kepala suku Taghlib. Menurut legenda Ayyam
al-Arab, perang itu berlangsung selama 40 tahun dengan cara menyerang dan
merampok satu sama lain. Sementara itu, api peperangan terus dikobarkan lewat
ungkapan-ungkapan puitis. Perang saudara itu berakhir setelah al-Mundzir III
dari Hirah turun tangan, dan setelah kedua belah pihak lelah berperang.
Lalu, perang lain tidak kalah
tenarnya adalah Perang Dahis dan al-Ghabra, yang menjadi salah satu peristiwa
paling terkenal dari periode Jahiliah, perang itu melibatkan suku ‘Abs dan suku
saudara perempuannya, yaitu Dzubyan di Arab Tengah. Wangsa Ghathafan merupakan
leluhur kedua suku itu. Peristiwanya dipicu oleh tindakan curang orang-orang
Dzubyan dalam sebuah balapan antara kuda yang bernama Dahis milik kepala suku
‘Abs dan keledai yang bernama al-Ghabra milik kepala suku Dzubyan. Peperangan
itu pecah pada paruh kedua abad keenam, tidak lama setelah tercapainya
perdamaian Basus, dan berhenti selama beberapa dekade hingga masa islam. Pada
peperangan inilah ‘Antarah ibn Shaddad al-‘Absi, pahlawan di zaman heroisme
Arab, kondang sebagai penyair dan prajurit.(Philip K. Hitti:2002:108)
2.2.2 Kondisi Kebudayaan Masyarakat Jahiliyah
Tidak
ada satupun bangsa di dunia ini yang menunjukkan apresiasi yang sedemikian
besar terhadap ungkapan bernuansa puitis dan tersentuh oleh kata-kata, baik
lisan maupun tulisan, selain bangsa Arab. Kita sulit menemukan bahasa yang
mampu memengaruhi pikiran para penggunanya sedemikian dalam selain bahasa
Arab.Orang-orang modern di Baghdad , Damaskus, dan Kairo dapat dibangkitkan
perasaannya dengan bacaan-bacaan puisi, meskipun tidak sepenuhnya mereka
pahami, dan dengan pidato dalam bahasa klasik, meskipun hanya sebagian yang
mereka pahami. Ritme, bait syair, dan irama bahasa itu memberikan dampak
psikologis kepada mereka, layaknya hembusan “sihir yang halal” (sihr halal).
Seperti
yang telah menjadi ciri khas rumpun Semit, orang-orang Arab tidak menciptakan
dan mengembangkan sendiri sebuah bentuk kesenian besar. Watak seni mereka
dituangkan ke dalam satu media ungkapan. Jika orang-orang Yunani mengungkapkan
daya seninya terutama dalam bentuk patung dan arsitektur, orang-orang Arab
menuangkannya dalam bentuk syair (qashidah) dan orang-orang Ibrani dalam
bentuk lagu-lagu keagamaan (psalm), sebuah bentuk ungkapan estetis yang
lebih halus. “keelokan seseorang terletak pada kefasihan lidahnya” demikian
menurut bahasa Arab. Kebijakan menurut pribahasa yang muncul belakangan, muncul
dalam tiga hal : otak orang perancis, tangan orang cina, dan lidah orang Arab.
Kefasihan yaitu kemampuan untuk mengungkapkan jati diri secara tegas dan elegan
dalam bentuk prosa dan puisi, berikut kemampuan memanah dan menunggang kuda
pada masa jahiliyah dipandang sebagai tiga ciri utama “manusia sempurna” (al-kamil).
Berdasarkan struktur bahasa yang unik, bahasa Arab memiliki ungkapan kalimat
yang padat, efektif, dan singkat. Islam memanfaatkan secara maksimal
karakteristik bahasa itu dan watak psikologis penuturnya. Dari sanalah muncul
“kemu’jizatan” (‘ijaz) gaya dan susunan kalimat Al-quran, yang dijadikan
argumen utama oleh umat Islam untuk membuktikan kemurnian agama mereka. Kemenangan islam hingga batas tertentu
merupakan kemenangan bahasa, lebih khusus kemenangan sebuah kitab.
Dari
periode kepahlawanan dalam literatur Arab, yang meliputi masa jahiliyah hingga
masa antara 525 dan 622, kita mewarisi beberapa peribahasa, legenda dan
sejumlah besar puisi yang semuanya baru dihimpun dan disunting pada masa islam.
Selain ungkapan-ungkapan magis meteorologis dan pengobatan, kita tidak
mendapati satun literatur ilmiah. Peribahasa menjadi indikator penting untuk
memahami mentalitas dan pengalaman masyarakat Arab.
Tidak banyak
prosa yang ditemukan dalam literatur Jahiliyah karena belum berkembangnya
sistem tulisan secara penuh. Namun kita memiliki beberapa prosa, biasanya
berupa legenda dan riwayat, yang dihimpun pada masa Islam, dan diklaim berasal
dari masa yang lebih awal. Kisah-kisah itu kebanyakan terkait dengan geneologi
(ansab) dan peperangan antar suku, yaitu Ayyam al-‘Arab.
Satu-satunya
keunggulan artistik masyarakat Arab pra-Islam adalah dalam bidang puisi. Pada
bidang itulah mereka menuangkan ekspresi estetis dan bakat terbaiknya.
Kecintaan orang badui terhaadap puisi merupakan salah satu aset kultural
mereka.
Literatur arab
muncul dalam bentuk puisi yang berkembang secara maksimal. Penggalaan puisi
tertua yang berhasil ditemukan tampaknya ditulis sekitar 130 tahun sebelum
hijrah, yang mengisahkan tentang peristiwa perang basus. Para penyair Islam
terdahulu seperti halnya penulis prosa, masih menganggap karya para penyair
kuno sebagai model karya yang keunggulannya tak tertandingi. Puisi-puisi
terdahulu ini terus dilestarikan dalam ingatan, ditransmisikan melalui tradisi
lisan dan akhirnya dicatat dalam bentuk tulisan pada abad kedua dan ketiga Hijriah.
Penelitian kritik modern membuktikan bahwa beragam perbaikan, penyuntingan dan
modifikasi telah dilakukan untuk menyesuaikan puisi-puisi itu dengan semangat
Islam.
Prosa
bersajak yang digunakan oleh para dukun dan peramal (kuhhan) dipandang
sebagai tahap awal perkembangan bentuk puitis. Nyanyian para penunggang unta (huda)
adalah tahap perkembangan kedua.
Tradisi bahasa Arab asli yang berusaha menjelaskan asal-usul perkembangan puisi
pada kebiasaan para penunggang unta yang bernyanyi mengikuti gerak ritmis
langkah untanya, tampak mengandung kebenaran. Kata hadi, penyanyi adalah
sinonim dari kata sa’iq penunggang unta.
Gaya
puisi rajaz, yang terdiri atas empat atau enam baris sajak, merupakan
perkembangan lebih lanjut dari prosa bersajak dan menggantikan bentuk sajak
yang paling tua dan paling sedehana, “Rajaz adalah embrio puisi”, demikian ujar
orang-orang Arab.
Pada masa
literatur kepahlawanan ini, puisi merupakaan satu-satunya sarana ekspresi
sastra. Qasidah (puisi liris) satu-satunya jenis puisi dan juga yang
paling usai . Muhalhil, pahlawan suku Taghlib dalam perang Basus dipandang
sebagai orang pertama yang menyusun jenis puisi liris ini. Jenis puisi ini
kemungkinan besar berkembang dalam kaitannya
dengan Ayyam a-‘Arab, terutama di kalangan suku Taghlib dan kindah.
Imru’ al-Qays keturunahn Qahthani dari Arab Selatan berasal dari suku kindah.
Meskipun ia merupakan penyair paling kuno Imru’ al-Qays dianggap sebagai
pangeran para penyair. Di sisi lain ‘Amr ibnu Kultsum berasal dari suku Taghlib
keturunan Rabi’ah dari Arab Utara.
Meskipun berbicara dalam dialek yang berbeda, para penyair ini menghasilkan
puisi liris yang memperlihatkan kesamaan bentuk sastra.
Diantara
puisi-puisi liris yang dihasilkan pada masa klasik, puisi yang disebut “Tujuh
Mu’allaqat” menduduki posisi pertama. Mu’allaqat itu masih dijunjung tinggi
diseluruh dunia Arab sebagai karya agung di bidang puisi. Menurut legenda,
setiap bagian merupakan puisi yang mendapat penghargaan pada festival Ukaz dan
ditulis dengan tinta emas, kemudian digantung di dinding ka’bah. Asal mula kejadian ini, di Ukaz, tepatnya
antara Nakhlah dan Taif di daerah Hijaz diadakan sebuah festival tahunan,
sejenis pertemuan sastra, tempat berkumpulnya para penyair pahlawan untuk
mempertontonkan keahlian dan memperebutkan posisi pertama.
Dikatakan
bahwa festival tahunan ini berlangsung selama bulan-bulan suci yang terlarang
untuk perang. Orang-orang pagan Arab menggunakan sistem kalender serupa dengan
yang digunakan oleh orang-orang islam kemudian, yaitu sistem kalender matahari
(Syamsiah), tiga bulan pertama pada musim semi, yaitu Zulkaidah, Zulhijjah dan
Muharram, merupakan bulan damai. Festival menjadi kesempatan berharga untuk
memperkenalkan barang dagangan, dan untuk menjual berbagai komoditas. Kita
dapat dengan mudah membayangkan orang-orang gurun pasir yang mengerumuni
pertemuan tahunan itu, berkumpul mengelilingi kios-kios, minum-minuman dari
perasan kurma, dan menikmati sepuasnya lantunan lagu para biduan.
Disamping
nilai sastra dan keindahannya, puisi-puisi kuno memiliki signifikansi historis,
yaitu sebagai bahan utama untuk mengkaji perkembangan sosial yang terjadi saat
puisi-puisi itu disusun. Kenyataannya, hasanah itu merupakan satu-satunya data
kuasi-kontemporer yang kita miliki. Ia memberikan penjelasan tentang semua fase
kehidupan pra-Islam. Oleh karena itu, terdapat sebuah pepatah, “ Puisi
merupakan catatan publik (diwan) orang-orang Arab.(Philip K.
Hitti:2002:112)
2.2.3 Kondisi Perekonomian
Masyarakat Jahiliah
Arabia merupakan
wilayah yang gersang dan terletak di gurun tandus dengan cuaca yang
tidak bersahabat dan tidak menyehatkan . Burckhardt, yang mengunjungi kota
makkah pada bulan agustus 1814, menggambarkan pemandangan dan rute perjalannya
sebagai wilayah yang paling memberikan inspirasi dan mengagumkan yang pernah ia
lihat sejak kunjungan ke Libanon (K.Hitti,Philip,2002:129). Kota terpenting di hijaz yaitu makkah karena merupakan tempat yang di sucikan dan di kunjungi penganut
agama asli makkah , selain itu juga orang yahudi .
Perdagangan
merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan hidup (syaikh syafiyurrahman al-mubarakhful, 2009 :
34). Tetapi sebagian mereka kondisi perekonomiannya umumnya payah. Mata
pencahariaan sebagian berternak dan bercocok tanam. Tentang perindustrian atau
kerajinan banyak di kenal seperti hasil dari Yaman jahit menjahit, menyamak
kulit dan lain-lain.
Kekayaan yang di miliki mereka banyak mengundang
peperangan sehingga kemiskinan, kelaparan dan orang telanjang merupakan hal
yang biasa. Sedangkan masyarakat umumnya perekonomiannya miskin dan menderita.
mereka menggunakan sistem pinjam-meminjam yang di dasarkan sistem renten/riba
(wildana wargadinata dan laily ftriani, 2008 : 42).. Keadaan ini juga berlaku
pada masyarakat Yahudi yang memperlakukan pihak yang berhutang secara
kejam.
2.2.4 Kondisi Politik Masyarakat Jahiliyah
Najed sebuah dataran tandus yang berfungsi sebagai penghambat , memiliki tiga kota di antaranya Taif , Makkah dan Madinah ( kota yang bertetangga).
Najed tidak pernah di jajah oleh negara lain kecuali sebagian kecil wilayah
bagian utara yang di kuasai dan diperebutkan oleh Imperium Persia dan Romawi.
Sehingga masyarakat Arab terpecah belah sehingga mereka membuat masing-masing
suku.
Masyarakat Arabia terpecah belah, retak menjadi kepingan – kepingan
disebabkan permusuhan antar suku. Peperangan
dan penyerbuan antar suku bagaikan kesibukan setiap hari. Mereka sangat
menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok
menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Orang Arab tidak mengenal
sistem pemerintahan pusat , karenanya jika terjadi permusuhan antara suku-suku
tersebut tidak ada pihak yang menjadi penengah sehingga dapat menjadikan
peperangan ini berlangsung selama bertahun-tahun (wildana wargadinata dan laily
ftriani, 2008 : 41).
Peperangan antar suku atau kabilah sering terjadi sehingga sikap ini
tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang arab.
Dalam masyarakat yang suka berperang menyebabkan harkat martabat menjadi
rendah. Dunia arab ketika itu merupakan keadaan peperangan yang terjadi
bertahun-tahun. Pada sisi lain , masyarakat Arab tunduk kepada Syekh atau Amir
(ketua kabilah) itu dalam hal peperangan , pembagian harta rampasan dan
pertempuran tertentu . selain itu amir tidak berhak mengatur kabilah-kabilah
(Yatim Badri, 2001:11).
2.2.5 Kondisi Keagamaan
Masyarakat Jahiliyah
Secara tabiat
orang Arab pada masa jahiliyah juga mencari kekuatan diluar diri mereka yang
mereka anggap lebih hebat, lebih kuat, lebih segala-galanya yang dapat
menjaditempat mereka mengadu, berlindung, dan meminta pertolongan pada saat
mereka mengalami kesulitan, ketakutan, dan tertekan. Mereka mencari sosok yang
dapat mereka sembah. Untuk merealisasikan hal tersebut mereka menggunakan
berbagai macam perantara, sebagaimana yang dituturkan Dr. Jawwad Aliy dalam
bukunya al-mufassol fi al-Tarikh al-Arab qobla al-Islam(1993:6:5),
وللعرب
قبل الاسلام مثل سائر الشعوب الأخرى تعبدوا الالهة, وفكروا في وجود قوي عليا لها
عليهم حكم وسلطان, فحاولوا كما حاول غيرهم التقرب منها واسترضاءها بمختلف الوسائل
والطرق, ووضعوا لها أسماء وصفات, وخاطبوها بألسنتهم وبقلوبهم, سلكوا في ذلك جملة
مسالك, هي ما نسميها في لغاتنا الدين.
Kebanyakan
orang bangsa Arab masih meyakini dan melaksanakan ajaran yang disampaikan nabi
Ibrahim yang kemudian diteruskan nabi Ismail. Sepeninggal nabi Ismail ajaran
ini mulai memudar dengan banyaknya ajaran-ajaran yang terlupakan dari praktik
keagamaan dan rutinitas kehidupan mereka. Hanya saja ajaran inti yang
disampaikan nabi Ibrahim masih terjaga sampai munculnya Amr bin Luhayy seorang
pemimpin bani Khuza’ah yang memiliki akhlaq agung seperti baik hati, dermawan,
serta perhatiannya terhadap masalah keagamaan yang begitu tinggi dan mungkin
itulah yang menjadikan dirinya sangat dihormati dan dipercaya oleh orang Arab
pada saat itu.
Adapun yang
menjadi awal mula munculnya berhala dan dijadikannya berhala sebagai sesembahan
adalah kepergian Amr bin Luhayy yang menurut syaikh shafiyyurrahman menuju
syam, sedang menurut Hitti pada bukunya History of the Arabs yang dikutib dari
Ibnu Hisyam menuju Moab atau Mesopotamia. Disana dia melihat penduduk melakukan
pemujaan terhadap berhala. Dari apa yang dilihatnya tersebut dia memberika
respon positif sehingga pada saat dia pulang dia membawa satu berhala yaitu
Hubal yang diletakan didalam Ka’bah.
Hubal adalah dewa yang paling tinggi diantara dewa-dewa
yang lain hubbal digambarkan dalam bentuk manusiayang memiliki tangan emas yang
melambangkan sifat yang dimilikinya yaitu penguasa, pengasih dan penyayang.
Selain hubal ada tiga lagi dewi yang diagungkan oleh bangsa Arab yaitu al-Lat,
al-Uzza dan Manat ketiganya dianggap sebagai putri Allah. Orang Arab selain
memuja dewa-dewi tersebut juga masih menyembah dewa-dewa kecil lain yang
seperti Dzu al-Kholashoh yaitu dewa-dewa yang mengambil nama tempat pemujaan,
Dzu al-Kaffayn dan Dzu al-Rijl dan Yaghuts, Wuud, Yauq, Suwa’ yang penamaannya
sesuai dengan sifat ketuhanan seperti mencintai, menjaga, menolong, dan
menghakimi.
Tuhan yang diakui oleh seluruh Jazirah Arab adalah
Allah, Allah adalah tuhan yang sifat-sifatnya sama dengan Allah tuhan umat
muslim saat ini hanya saja semua sifat dan fungsi-Nya diserahkan kepada
dewa-dewa atau tuhan-tuhan kecil yang disebut pada paragraf sebelumnya. Semua
ini ditemukan pada prasasti di kawasan Arab Selatan dan Utara, sebagai mana
yang di tulis Ismail R al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi dalam Atlas Budaya
Islam(1998:101), prasasti Arabia Selatan (Ma’in, Saba’, Qathaban) maupun Arabia
Utara(Lihyan, Tsamud, dan Shafa)membuktikan bahwa Tuhan Agung yang disebut Al-Ilah atau Allah
sudah disembah sejak zaman.
Paada saat
ditaklukannya kota Makkah oleh Rosulullah semua berhala-berhala yang ada
dihancurkan termasuk Hubal, lata, Uzza, Manat dan 360 berhala yang berada
disekitar Ka’bah sebagaimana yang disebutkan Syaikh Shafiyyurrahman
Mubarrakfuri dalam kitab al-Rahiiq al-Makhtuum yang dikutib dari kitab
Mukhtashar Siratur Rasul(2013:31 trjmh), tatkala Rasulullah menaklukan Makkah,
disekitar Ka’bah terdapat tiga ratus
enam puluh berhala. Beliau memecahkan berhala-berhala itu hingga berjatuhan
semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid
dan dibakar.
Dalam
penyembahan berhala mereka mempunyai beberapa tradisi yang itu sebenarnya
adalah rekaan yang dibuat oleh Amr bin Luhayy seperti berdiam dihadapan
berhala, minta perlindungan pada berhala tersebut, haji dan thawaf tapi yang
disebut-sebut pada saat thawaf adalah nama-nama berhala tersebut, melakukan
taqarrub dengan memeberi persembahan penyembelihan berhala dengan menyebut nama
berhala yang diberi persembahan, memberi makanan atau hasil panen khusus pada
berhala, bernadzar pada berhala. Selain itu mereka juga melakukan ritual al-Sa’ibah[2],
al-Bahirah[3],
al-Washilah[4],
al-Hami[5].
Pada dasarnya
selain Amr bin Luhayy ada empat hal yang sangat mempengaruhi penyembahan
bangsa-bangsa Arab terhadap berhala-berhala seperti yang di kemukakan Ismail R
al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi dalam Atlas Budaya Islam(1998:100-101), pertama
adalah keinginan manusia akan dewa yang selalu berada didekatnya bila
dibutuhkan. Kedua kecenderunga untuk mengagungkan orang baik yang sudah
meninggal, baik itu leluhur, kepala suku atau dermawan, sampai tingkat kemanusiaannya
menjadi ketuhanan. Ketiga rasa takut yang terus-menerus yang dialami
manusia ketika menyadari ketidak berdayaan mereka didalam menghadapi peristiwa
dahsyat yang tak dapat dijelaskan atau peristiwa alam tragis. Keempat hampir
tidak adanya keyakinan transedentalis. Itulah mungkin yang akhirnya menjadikan
bangsa Arab melenceng dan meninggalkan agama Ibrahim.
Selain
menyembah berhala ada juga masyarakat Arab yang masih memegang teguh agama
Ibrahim, memluk agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Shabi’ah. Setidaknya ada
dua periode yang dapat dijadika tolak ukur keberadaan agama Yahudi di jazirah
Arab:
Periode pertama sebagaimana yang dituang syaikh Shafiyyurrahman
Mubarakfuri yang dikutip dari kitab Qalbu Jazirah al-Arab dalam kitab al-Rahiiq al-Makhtuum(2013:39), penaklukan
Babilonia dan al- Syiria di Palestina; hal ini menyebabkan orang yahudi
sebagian menjadi tawanan dan sebagian lagi hijrah menuju Hijaz dan bermuki di
kawasan utaranya.
Periode kedua
dimulai sejak pendudkan Romawi atas Palestina pada tahun 70 M; perpindahan ini
terjadi akibat tekanan yang dialami orang Yahudi saat itu sehingga memaksa
mereka untuk pindah ke Hijaz dan menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima’. Untuk
masuknya agama Yahudi ke Yaman itu melalui pejual jerami As’ad bin Abi Karb yang
kelak ketika anaknya Yusuf menjadi penguasa Yaman akan mengadakan pembantaian
besar-besaran terhadap orang Nasrani yang jumlahnya mencapai 20 sampai 40 ribu
jiwa, menurut syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarrakfuri yang beliau kutip dari
kitab al-Yaman Abrat Tarikh dalam kitab al-Rahiiq al-Makhtuum(2013:40),
peristiwa itu terjad pada tahun 523 M.
Menurut syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarrakfuri dalam kitab
al-Rahiiq al-Makhtuum(2013:40), sedangkan agama Nasrani masuk ke jazirah Arab
melalui pendudukan orang-orang Habasyah dan Romawi. Kristenisasi mulai dilkukan
orang Habasyah mulai pendudukannya atas Yaman pada tahun 340 M. Pada saat
pendudukannya ini juga muncul di Najran seorang yang zuhud dengan tulus
mengajarkan ajarn kristen sehingga membuat peduduk Najran tertarik untuk
memeluk agama Nasrani. Masuk untuk kedua kalinya setelah pembantaian yang
dilakukan Dzu Nuwas[6]
terhadap orang Nasrani pada tahun 525 M, hal ini sebagai balasan atas perlakuan
Dzu Nuwas, saat itu Yaman berada dibawah kepemimpinan Abrahah, ditangannya
Nasrani melebarkan sayapnya seluas-luasnya sampai-sampai dia membuat bangunan
tandingan untuk Ka’bah dengan tujuan agar ibadah yang dilakukan orang Arab
berpindah ke Yaman. Agaknya usahanya untuk menandingi Ka’bah ini kurang
membuahkan hasil yang memuaskan sehingga dia hendak menghancurkan Ka’bah akan
tetapi itu gagal dan justru dia harus meregang nyawa pada saat memimpin pasukan
untuk menghacurkan Ka’bah karena diserang oleh burung ababil.
Agama majusi banyak dianut oleh kalangan Arab yang berada didekat
Persia sperti Irak, Bahrain, Hajar dan
teluk Arab yang bertangga dengannya. Sedang agama shabi’ah dianut oleh suku Kaldaniyin (chaldaneans)
di daerah Irak ini beerdasarkan penggalian yang dilakukan oleh para arkeolog
disana. Sebenarnya agama ini adalah
agama yang dianut kaum Ibrahim, yang sebenarnya selain di Irak agama ini
adalah agama asal masyrakay Yaman dan Syam pada zaman purbakala sebelum
datangnya agma-agama baru.
2.3 Karakter Masyarakat Arab (Pra Islam) Jahiliyah Sebelum
Islam dan Menjelang Kedatangan Islam.
Pengaruh
terhadap karakter seseorang itu bisa di pengaruhi oleh kondisi alam . hal
semacam ini di alami di jazirah arab, baik dari bentuk fisik maupun psikis .
memang kita tidak memungkiri bahwa di tengah masyarakat jahiliyah terdapat
hal-hal hina, amoralitas, dan masalah-masalah yang tidak bisa di terima oleh
akal . tetapi mereka juga memiliki karakter yang positif selain negatif .
Nourouzzaman Shiddiqi menjelaskan karakter-karakter bangsa arab sebagai berikut
(wildana wargadinata dan laily ftriani, 2008 : 51) :
2.3.1 Karakter Negatif
Karakter-karakter
negatif bangsa arab :
a. Sulit Bersatu
Setiap manusia membutuhkan sumber-sumber yang dapat
melangsungkan hidup. Jika sumber tersebut sangat terbatas maka manusia cenderung
untuk membentuk kelompok kecil. Sehingga pada masa jahiliyah mereka membentuk
kelompok-kelompok kecil tidak semuanya bersatu. Karena orang yang tidak
memiliki hubungan darah di anggap musuh. Sehingga persatuan masyarakat yang hanya di dasarkan pada tali hubungan
darah inilah yang menyebabkan timbulnya sikap chauvenis[7]
yang sempit , yang tidak mau tunduk kepada pemimpin yang berada di luar sukunya
, oleh karena itu sulit di lahirkan persatuan yang menyeluruh (wildana
wargadinata dan laily ftriani, 2008 : 52-53).
b. Gemar Berperang
Berjalannya
waktu maka anggota mulai bertambah sehingga kebutuhan mulai berebutan karena
terbatasnya sumber kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus
berperang . menurut pandangan orang arab perang itu adalah halal (wildana
wargadinata dan laily ftriani, 2008 : 53). Sehingga perang itu menjadi gaya
hidup dan seolah-olah menjadi tradis bangsa jahiliyah.
c. Kejam
Mereka di anggap kejam karena kelakuan
sosial mereka seperti menggubur anak perempuan hidup-hidup dan mereka suka
berperang. Sebab-sebab mereka melakukan seperti itu karena untuk menunjang
berlangsungnya hidup mereka serta cara hidup mereka yang berpindah-pindah.
d. Pembalas Dendam
Dalam tatanan arab pengikat tali
persaudaraan sangatlah erat sehingga darah miliki nilai yang sangat tinggi. Sehingga menjadi
kewajiban dan penghormatan bagi seluruh anggota suku untuk menuntut pertumpahan
darh tersebut. Penuntutan balas ini bisa berlangsung berpuluh-puluh tahun
misalnya perang basus.
e. Angkuh dan Sombong
Sebenarnya sifat pembalas dendam itu lahir dari
sifat sombong . Dari sifat tersebut terjadilah permusuhan dan mengakibatkan
perkelahian. Mereka merasa benar sendiri, terbaik, terhormat dari pada yang
lainnya.
f. Pemabuk dan Penjudi
Minuman bagi orang Arab adalah barang
yang mewah(wildana wargadinata dan laily ftriani, 2008 : 59). Ini sebagai tanda bahwasanya orang Arab yang
mabuk-mabukkan berarti orang yang miliki harta yang lebih dan tujuannya mereka
adalah untuk memamerkan . selain itu, bagi orang Arab hal tersebut sebagai
pelarian atau untuk menghilangkan masalah yang mereka miliki.
2.3.2 Karakter Positif
Telah d sebutkan beberapa karakter
negatif masyarakat jahiliyah yang memberi gambaran seakan akan orang orang jahiliyah
itu adalah mahluk yang tidak berguna. Padahal sejarah mencatat bahwa merekalah
kemudian pembuat sejarah dunia yang mengagumkan dan bahkan merekalah yang telah
meningkatkan kebudayaan umat manusia setelah mereka memeluk islam. Oleh karna
itu pastilah pda diri mereka ada sifat sifat positif yang potensial , di
samping mereka mengenal kode etik yang mereka pegang tegu yang merupakan kunci
keberhasilan mereka dan sekaligus pula merupakan ciri ciri dari manusia yang
berbudaya tinggi. Adapun watak watak dan tradisi positif bangsa arab seperti
yang di kemukakan tohir ( 1981:110-116) antara lain sebagai berikut:
a.
Kedermawanan
adalah suatu hal yang lumrah sekali
jika kederemawanan dan murah tangan mendapat tempat tertinggi untuk mengkualifikasikn
seseorang itu termasukl orang yang mulia, mengingat bagaimana sulitnya mencri
nafkah di gurun yang sangat gersang itu.
Dikalangan masyarakat jahiliyah, kedermawanan adalah merupakan bukti kemuliaan
seseorang. Makin dermawannya seseorang, Makin dikagumilah dia. Namun harus
diingat kedermawanan yang di perlihatkan oleh seseoarang arab jahiliyah itu
bukanlah didorong oleh motif motif kerahiman atau kebaikan hati, tetapi hanya
di dasari oleh sikap kesatria saja yang cenderung pada keinginan hati untuk di
muliakan dan dikagumi.
islam kemudian yang merubah pandangan dan sikap arab jahiliyah
terhadap kedermawanan ini dari beraspekkan bermegah megah kepada mencari
keridlaan allah.
b.
Keberanain dan kepahlawanan
adalah satu syarat yang mutlak diperlukan untuk dapat mempertahankan
hidup di gurun yang kejam dan ganas itu. Oleh karna itu tidaklah mengherankan
jika keberanian mendapat nilai yang paling tinggi dan menjadi unsur yang paling
esensi dari muru’ah.
c.
Kesabaran
adalah merupakan nilai moral yang tinggi di kalangan bangsa arab
badui, dan merupakan inti pokok dari keberanian atau sekurang kurangnya
merupakan bagian darinya. Di dalam kehidupan di gurun pasir di mana syarat
hidup begitu keras maka setiap orang dituntut memiliki kesabaran dan tahan
menderita yang besar untuk dapat mempertahankan hidupnya dan kelangsungan hidup
sukunya.
d.
Kesetiaan dan kejujuran
dalam masa
jahiliyah kesetiaan hanyalah diperuntukkan bagi saudara saudara yang didasari
atas ikatan (hubungan darah). Dalam lingkungan yang sempit –suku-, inilah
kesetiaan itu diimplementasikan secra mutlak. Seorang arab badui bersedia
berkorban untuk kepentingan saudaranya sesuku. Kesetiaan orang arab badui dalam
memegang janji ini dapat dilihat dari cerita ini lahirlah pepatah arab “awfa
min as-samauel” . dia rela melihat anaknya di bunuh di depan matanya oleh
panglimah perang hirah harits ibn dhalim, demi memegang janjinya pada imru’ul
qais yang sedang dikejar kejar musuhnya dalam pelariannya, dan sambil meminta
bantuan dari Byzantium pernah singgah di tempat as-samauel di al-ablaq.
e.
Ketulusan dan berkata benar
merupakan salah satu sifat dari
orang orang arab jahiliyah. Sebagaimana ketulusan ini adalah nilai moral yang
tinggi bagi manusia. Etika moral manusiawi ini oleh islam diperjelas dengan
menempatkan berkata benar itu dengan sesuatu yang haq.
(wildana,laily,2008:59-67) .
2.4 Kota-Kota Utama Hijaz : Taif, Mekkah, Dan
Madinah
Hijaz merupakan sebuah sebutan lama
untuk daerah Arab Tengah. Secara geografis, Hijaz hanyalah sebuah dataran
rendah tandus yang menjadi pemisah antara dataran tinggi Nejed dan daerah Pesisir.
Hijaz mencakup tiga kota yaitu Thaif, Mekkah dan Madinah.
Kota Taif terletak di sekitar
wilayah yang ditumbuhi pepohonan lebat dengan ketinggian sekitar 6000 kaki di
atas permukaan laut dan digambarkan sebagai sepotong tanah Suriah, merupakan
penginapan musim panas bagi kalangan Aristocrat Mekkah sejak dahulu hingga saat
ini.(Philip k. Hitti) Taif merupakan daerah subur yang mampu menghasilkan bermacam-macam
komoditas seperti semangka, pisang, ara, anggur, kenari, persik, delima, dan
lain-lain. Karena keindahannya (bila dibandingkan dengan kota-kota di Hijaz) Taif
digambarkan sebagai titisan surga di padang pasir.
Mekkah terletak di sebelah selatan
Hijaz, sekitar 45 mil dari laut merah, di sebelah lembah yang gersang dan
berbukit. Berbeda dengan kota Taif yang suhunya relative lebih sejuk, kota Mekkah
bersuhu panas yang luar biasa.
Kota
Mekkah terkenal dengan sebutan kota suci, hal ini dikarenakan di kota
ini terdapat Ka’bah, bangunan yang disucikan oleh umat Islam. Pada masa
Jahiliah, Ka’bah merupakan bangunan suci bagi kaum penganut kepercayaan asli
Mekkah dan umat-umat Yahudi yang mukim
di sekitarnya. Karena itulah banyak orang Mekkah sendiri maupun orang dari luar
Mekkah yang secara rutin berziarah ke Kak’bah setiap tahunnya.
Untuk mengamankan para peziarah yang
berkunjung ke Mekkah dari incaran perampok, didirikanlah pemerintahan yang
awalnya dipimpin oleh dua suku terkemuka saat itu, yaitu jurhum sebagai
pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan nabi ibrahim). Kekuasaan
politik selanjutnya berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di
bawah pimpinan Qushai. Setelah runtuhnya kerajaan Himyar, Mekkah pun menjadi
pusat perdagangan wilayah Arab yang ramai dikunjungi pedagang.
Secara geografis, kota Yatsrib (sekarang Madinah) terletak 150
km sebelah utara kota Mekkah. Yatsrib memiliki suhu dan kesuburan tanah yang
jauh lebih baik dari pada kota tetangganya.
Kota ini merupakan jalur perdagangan rempah-rempah yang mengubungkan Yaman
dengan Suriah. Inilah kota oasis yang
sangat subur dan sangat cocok untuk ditanami kurma.
Sebelum
kedatangan Islam, kawasan ini dihuni oleh orang Arab keturunan Aramaik yang
telah menganut agama Yahudi yaitu bani Nadzir dan bani Quroidzoh serta dua suku
utama non Yahudi yaitu Aws dan Khazraj.
Bangsa Aramaik di Yatsrib sendiri merupakan orang-orang Israel yang
berasal dari Palestina yang melarikan diri saat ditaklukkan oleh Romawi pada
abad awal Masehi. Dengan keahliannya bercocok tanam dan membuat peralatan dari
besi, orang Yahudi berhasil menjadikan Madinah sebagai kota pertanian yang maju
di zamannya.
2.5 Pengaruh Kebudayaan Saba, Abissinia,
Persia, dan Gassan
Meskipun
tidak berada dalam arus utama peraturan dunia, Hijaz pra-Islam tidak bias dikatakan sebagai
tempat yang tidak penting. Keistimewaan dan kedudukannya yang pentingdalampercaturan global mulai
mencuat sejak tahun kedelapan Hijriah ketika Islam merebut kota itu dan ketika
ayat ke-28 surat ke-9 diturunkan. Pada abad pertama setelah Muhammad wafat,
muncul sejumlah dokter, musisi, serta pedagang Kristen dan Yahudi di kota
kelahirannya.
Peradapan
Arab Selatan terdahulu tidak sepenuhnya punah tanpa bekas untuk para penerusnya
yang menghuni kawasan Arab Utara. Tulisan Abrahah tahun 532-543 tentang
hancurnya bendungan Ma’rib dimulai dengan kata-kata berikut: “dengan kekuatan,
kemuliaan dan kasih sayangYang Maha Pemurah [Rahma’an] dan Penyelamat serta Roh
Kudus. Kata Rahman sangat penting karena memiliki padanannya pada bahasa Arab
Utara, al-Rahman, yang kemudian menjadi sifatutama Allah dan salah satu nama
surah dalam al-Qur’an, juga dalam kepestakaan teologi Islam. Bahkan, salah satu
surah al-Qur’an, yaitu surah ke-19 di dominasi oleh kata al-Rahman.[8]Meskipun
digunakan dalam berbagai tulisan untuk merujuk pada Tuhan orang-orang Kristen,
kata itu jelas-jelas dipinjam dari nama salah satu dewa tertua di Arab Selatan.
Al-Rahim (MahaPenyayang) juga muncul sebagai nama dewa (RHM) dalam
tulisan-tulisan pra-Islam dan tulisan orang-orang Saba. Tulisan Arab Selatan
lainnya menggunakan kata syirk, yang diasosiasikan dengan politiesme,
jenissyirk yang sangat ditentang keras dalam dakwah Nabi Muhammad. Monotiesme
Muhammad memerintah dan menekan ummatnya untuk menyembah satu-satunyawujud yang
tertinggi, dan menafikan seluruh wujud sembahan lain selain Dia, meskipun pada
dewa-dewa kecil. Pada tulisan-tulisan yang sama juga dijumpai istilah teknis
yang berarti tidak beriman, KFR, seperti yang digunakan dalam bahasa Arab
Utara.
Kebudayaan
lain yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Hijaz adalah kebudayaan Abissinia. Populasi rumpun Semit
yang menghuni pesisir barat daya Laut Merah seperti yang telah kita diskusikan
— mauk kesana secara bertahap dari arah barat daya Arab. Orang-orang Abissinia
ini —begitu mereka dikenal membentuk suatu bagian penting dalam aktifitas
perdagangan internasional, yang ketika
itu dimonopoli oleh orang-orang Saba-Himyar, khususnya dalam komoditas
rempah-rempah, yang jalur utamanya melintasi Hijaz. Selama sekitar 50 tahun
sebelum kelahiran Nabi, orang-orang Abissinia telah membangun kekuasaannya di
Yaman, dan pada tahun kelahiranNabi, mereka telah berada di gerbang kota Makkah
dan mengancam hendak menghancurkan bangunan suci Ka’bah. Makkah sendiri
merupakan sebuah koloni orang Abissinia Kristen. Bilal,[9]
pemilik suara yang bagus dan keras, yang karenanya ia diangkat menjadi muezzin
Nabi, adalah orang kulit hitam dari Abissinia. Beberapa ayat al-Qur’an tentang lautan dan gelombang dan anginnya
yang besar (Q.S. 16: 14; 10: 22-23; 24: 40), dengan ciri khasairnya yang
jernih, merupakan cerminan dari hubungan transportasi laut yang aktif pada masa
itu antara Hijaz dan Abissinia. Ketika masyarakat Islam yang baru lahir
mendapat tekanan keras dari orang-orang Quraisy, Abissinia menjadi tempat
perlindungan mereka.
Kebudayaan
Persia turut mewarnai keadaan penduduk Hijaz dan perkembangannya pada masa-masa
berikutnya. Budaya ini mulai memasuki tanah Arab pada abad menjelang kemunculan
agama Islam. Persia, yang menganut agama Zoroaster, bersaing dengan Abissinia
untuk memperoleh supremasi di Yaman. Pengetahuan senimiliter Persia diwariskan
kepada orang-orang Arab dari sebelah selatan dan utara melalui orang Arab
Persia, yang beribukota di Hirah. Sebelum riwayat menyebutkan bahwa Salman dari
Persia itulah yang menyarankan kepada Nabi untuk menggali parit sebagai
strategi pertahanan kotaMadinah.
Pada masa
pra-Islam, Hirah — negeri satelit Persia merupakan jalur utama penyebaran
pengaruh budaya Persia dan, belakangan, pengaruh Nestor Aramaik, kedunia Arab.
Sebagai kelak orang-orang Nestor menjadi penghubung utama antara budayaYunani
dan Islam, saat itu mereka menjadi media utama penyebaran gagasan-gagasan
budaya Utara, yaitu Aramaik, Persia, Hellenik, ketengah-tengah pagan Arab.
Sementara
orang-orang Kristen Nestor dari Hirah telah memengaruhi orang-orang Arab di
perbatasan Persia, para penganut gereja Monofisik dari Gassan mulai menyebarkan
pengaruh mereka pada orang-orang Hijaz. Selama empat abad sebelum Islam,
keturunan Arab yang telahmenjadi orang Suriah ini memungkinkan terjadi
persentuhan antara dunia Arab, tidak hanya dengan Suriah, tetapi juga dengan
Bizantium. Karena itulah, nama-nama seperti Daud, Sulaiman, dan Isa telah
dikenal baik oleh orang-orang Arab pra-Islam.
Namun, pengaruh
yang berhembus dari utara ini tidak perlu dibesar-besarkan karena gereja
monofisi kata ugerejanestor tidak cukup kuat untuk menyebarkan gagasan
keagamaan mereka. Berbagai sumber yang dihimpun oleh Pere Cheikho telah cukup
mewadai untuk membuktikan bahwa agama Kristen telah berakar kuat di berbagai
kuat di dataran Arab Utara. Meski demikian, sumber-sumber itu mampu
mengunggapkan bahwa para penyair pra-Islam telah akrab dengan berbagai gagasan
dan istilah-istilah Kristen. Sejumlah besar kosakata Aramaik diadopsi menjadi
kosakata Arab kuno.[10]
Monotiesme
yang memengaruhi Arabiah tidak sepenuhnya berasal dari agama Kristen. Sebelum
Kristen menyentuh wilayah ini, berbagai koloni Yahudi telah berkembang di
Madinah dan daerah-daerah oasis di sebelah utara Hijaz. Al-Jumahi (± 845)
menulis satu bagian dalam biografinya yang secara khusus membahas kehidupan
para penyair Yahudi-Madinah dan lingkungannya. Bahkanbuku al-Aghani pun menyebutkan
sejumlah penyair Yahudi di Arab. Tapi, satu-satunya penyair Yahudi yang
mewariskan diwan kepada kita adalah al Samaw’al (Samuel), dari al-Ablak dekat
tema, yang hidup semasa denganImru al-Qois. Namun, puisi-puisinya tidak ada
bedanya dengan puisi pagan belakangan, sehingga keYahudian al Samaw’al patut
dicurigai. Di Yaman, agama Yahudi telah menjadi agama Negara dibawah
pemerintahan DzuNuas.
Ringkasnya
kita bias menyatakan bahwa Hijaz pada abad kelahiran Muhammad dikelilingi oleh
berbagai perngarih yang berbeda, baik dari sisi intelektual, keagamaan, maupun
material, baik yang dating dari Bizantium, Suriah (Aramaik), Persia, dan
Abissinia, maupun yang dating melalui kerajaan Gassan, Lakhmi danYaman. Meski
demikian, kita tidak bias menegaskan bahwa Hijaz mengalami kontak budaya
penting dengan peradaban-peradaban yang lebih tinggi di utara, sehingga mengubah aspek budaya
aslinya. Di satu sisi, meskipun agama Kristen berhasil memantapkan kedudukannya
di Najran, dan agama Yahudi di Yaman dan Hijaz, keduanya tidak begitu
memengaruhi hati orang-orang Arab Utara. Di sisi lain, agama pagan kuno yang
berkembang di semananjung Arab tampaknya telah mencapai anti klimaks ketika ia
tidak bias lagi memenuhi tuntutan spiritual masyarakat dan terkalahkan oleh
kelompok yang mengebangkan ajaran monoteis yang masih samar---kelompok yang
menyebut dirinya sebagai kelompok hanif. Umaiyah ibn Abi al Shalt (w. 624),
sepupu kedua Nabi Muhammad dari jalur ibunya, danWaraqah ibn Nawfal, sepupu
Khodijah, termasuk ke dalam kelompok itu, meskipun berapa sumber mnyebutkan
bahwaWaraqah adalah pemeluk agama Kristen. Dari sisi poloitik, kehidupan
nasional terorganisir yang berkembang di Arab Selatan kini benar-benar
terganggu. Akibatnya, muncul anarqi dalam bidang politik dan keagamman. Sebuah
panggung telah di buat dan saat-saat yang kondusif secara psikologis telah siap
untuk menyambut datangnya seorang pemimpin besar agama dan bangsa.(Philip K.
Hitti:2002:131)
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Istilah “ Jahiliyah “ biasanya di artikan
dengan masa kebodohan kehidupan barbar . kata arab ini di dalam kamus bahasa
indonesia diterjemahkan dengan “ kebodohan.
Istilah jahiliyah berasal dari kata جهل
– يجهل – جهلا و جها لة bermakna “ tidak tahu , bodoh, pandir.
Istilah jahiliyah yang biasanya diartikan sebagai “masa kebodohan”
atau “ kehidupan barbar”, sebenarnya berarti bahwa ketika itu orang-orang Arab
tidak memiliki otoritas hukum, nabi, dan kitab suci.
Kondisi sosial pada masa jahiliyah didominasi dengan adanya ayyam
al-Arab (Hari-hari Orang Arab). Selama periode itu terjadi bebagai serangan
dan perampokan, tanpa pertumpahan darah. Ayyam al-Arab merujuk pada
permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar
hewan ternak, padang rumput atau mata air.
Satu-satunya keunggulan artistik masyarakat Arab pra-Islam adalah
dalam bidang puisi. Pada bidang itulah mereka menuangkan ekspresi estetis dan
bakat terbaiknya.
Kebudayaan lain yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Hijaz adalah kebudayaan
Abissinia. orang-orang Abissinia telah membangun kekuasaannya di Yaman, dan
pada tahun kelahiranNabi, mereka telah berada di gerbang kota Makkah dan
mengancam hendak menghancurkan bangunan suci Ka’bah.
Perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi
kebutuhan hidup (syaikh syafiyurrahman
al-mubarakhful, 2009 : 34). Tetapi sebagian mereka kondisi perekonomiannya
umumnya payah.
Masyarakat Arabia terpecah belah, retak
menjadi kepingan – kepingan disebabkan permusuhan antar suku. Peperangan dan
penyerbuan antar suku bagaikan kesibukan setiap hari. Mereka sangat menekankan
hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber
kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Masyarakat Jahiliyah banyak menyembah
berhala. Selain
menyembah berhala ada juga masyarakat Arab yang masih memegang teguh agama
Ibrahim, memluk agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Shabi’ah.
Masyarakat jahiliyah memiliki karkter negatif dan positif , mereka
sulit bersatu, gemar berperang, kejam, pembalas dendam, angkuh dan sombong,
tetapi di sisi lain mereka mempunyai sifat kedermawanan, keberanian,
kepahlawanan, kesabaran, kesetiaan, kejujuran, ketulusan dan berkata benar.
[1] Kota Diyar
Bakr, masih menggunakan nama suku itu
[2] al-Sa’ibah
yaitu unta betina yang telah beranak sepuluh betina secara beturut-turut tanpa
ada selingan jantan. Unta semacam ini menurut mereka tidak boleh dimakan ataupun
diminum susunya kcuali untuk tamu. Jika setelah itu dia beranak betina lagi
maka dia harus dibelah telinganya dan dilepas.
[3] Al-Bahirah
adalah anak unta al-Sa’ibah yang harus diperlakukan sama seperti induknya.
[4] Al-Washilah
adalah domba betina yang beranak betina
kembar dalam lima kelahiran beturut-turut, jika domba ini beranak lagi
maka hanya akan mereka persembahkan untuk kaum lelaki.
[5] Al- Hami
adalah unta jantan yang telah membuahkan sepuluh unta betina berturut-turut,
maka punggung unta tersebut di cap dengan besi panas, tidak boleh digunakan
kecuali untuk kepentingan ritual.
[6] Gelar untuk
Yusuf putra As’ad bin Abi Karb saat jadi penguasa Yaman.
[7] Chauvenis : sifat cinta tanah air secara berlebih-lebihan ( Arkola.TT.kamus
inggris-indo indo-inggris.surabaya, hal.72)
[8]Rahman-an
adalahgelarTuhan Kristen dalamtulisan Arab Selatan abadkelima
[9]Makamnyabisaditemukan
di Damaskus
[10]Seperti kata kanisahdanbi’ah(gereja)
dumyahdansyurah (kesandangambar), qissis(biarawan),
shadaqah (santunan)
Daftar Pustaka
K.Hitti Philip.2002. History of the Arabs. Terj.R.Ceep
Lukman Yasin dan Dedy Slamet Riyadi.
Jakarta: Serambi.
Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani. Sastra Arab dan Lintas
Budaya. Malang : UIN Press.
Aliy, Jawwad. 1993. Almufasshol fi tarikh
al arab qobla al islam. Baghdad : Jami’ah Baghdad.
Atlas Budaya Islam
Yatim Badri.2001. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta :
Rajawali Press.
Al- Mubarakful Shafiyyurrahman. 2009. Sirah Nabawiyah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Risa Agustin. TT. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:
Serba Jaya.
Munawwir Armad Warson. 1984. Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progresif.
makalahnya bagus dan sangat membantu,....
BalasHapusmemang benar. Tulisan dalam artikel ini yang dibahas sangat luas. makasih ya...
BalasHapus