2 Jun 2013

Interaksi dan Percampuran Sastra pada Masyarakat Islam Baru di Jazirah Arab


 
BARU DI JAZIRAH ARAB

Makalah ini ditulis sebagai tugas mata kuliah Dirosah Al-Mujtama’at al-Araby I
Pembimbing :

M. Anwar Mas’adi, MA.

Oleh :
     Iswatul Hasanah                 (10310049)
   Noor Hidayah                      (10310037)
    Mughni Khairuddin            (10310012)
    Arif Rahman Hakim           (10310044)




JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah                            
Dalam dunia Arab, sastra merupakan kekayaan yang sangat berperan dalam kemajuan sebuah peradaban. Sastra memilki peran yang sangat urgen dalam segala masa. Ia mampu memberi pengaruh yang cukup signifikan pada jiwa-jiwa yang mendengar, menyaksikan, ataupun membacanya. Seperti halnya syiir yang digubah para penyair mampu mengangkat derajat dan martabat seseorang ataupun kekhalifahan atau justru malah menjatuhkannya.
Sastra bagi bangsa Arab dipandang sebagai kelebihan yang mereka puja-puja, bangga-banggakan sebagai tradisi leluhur yang tak ada satu bangsapun yang mampu menandinginya. Akan tetapi dengan turunnya al-Qur’an sebagai tanda awal mulanya agama Islam, sastra bangsa Arab mengalami gangguan mental dan terpaksa harus merendahkan diri karena tertandingi oleh wahyu ilahiah yakni al-Qur’an yang tingkat kesusastraannya lebih agung dan lebih tinggi dari pada sastra mereka.
Setelah turunnya al-Quran sastra mengalami beberapa pergeseran perubahan dari zaman sebelumnya yakni Jahiliyyah. Karena pada masa ini sastra banyak dipengaruhi oleh al-Quran dan hadis. Selain itu kondisi masyarakat yang melingkupi perkembangan sastra itu sendiri juga tak bisa dinafikan terhadap tumbuh kembang dan peran sastra itu sendiri. Berikut akan kami bahas interaksi dan percampuran sastra pada masyarakat Islam baru di jazirah Arab.
1.2  Rumusan Masalah
Sesuai dengan deskripsi singkat dalam latar belakang di atas, dapat ditegaskan dalam makalah ini rumusan masalahnya sebagaimana berikut:
1.      Apa definisi sastra?
2.      Baimana interaksi dan percampuran sastra pada masyarkat Islam baru di jazirah Arab?
3.      Apa faktor-faktor yang  mempengaruhi perkembangan satra pada masyarakat Islam baru di jazirah Arab?

1.3 Tujuan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah yang tersebut di atas, maka tujuan dalam makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui definisi sastra
2.      Untuk mengetahui interaksi dan percampuran sastra pada masyarakat Islam baru di jazirah Arab
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan satra pada masyarakat Islam baru di jazirah Arab

 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Sastra
                  Terkait dengan sastra terdapat banyak pengertian tentang sastra sehingga sampai sekarang belum ada seorangpun yang berhasil memberi pengertian yang tepat dan paling hakiki tentang sastra. Professor A. Teeuw seorang tokoh kesusastraan mengemukakan bahwasanya sastra adalah ilmu yang menunjukan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang tidak dapat kita lihat pada ilmu pengetahuan lain (Teeuw, 1984:21).
Dalam bahasa-bahasa Barat istilah sastra disebut literature (Inggris), literatur (Jerman), literature (Perancis), semuanya berasal dari bahasa latin litteratura. kata Litteratura terjemahan dari kata Yunani grammatika. Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti ‘huruf’ (tulisan, letter). Menurut asalnya litteratuta dipakai untuk tatabahasa dan puisi, seorang litteratus adalah orang yang tahu tatabahasa dan puisi, dalam bahasa Perancis masih memakai kata letter, Belanda geletter; orang yang berperadaban dengan kemahiran khusus di bidang sastra (Wildana Margadinata dan Laily Fitriani, 2008:2).
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata yang paling dekat dengan sastra adalah adab. Adab merupakan kata yang artinya berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab dari fase badui menuju fase yang berperadaban. Adab mempunyai arti bermaca-macam sesuai dengan masanya ketika kata itu dipergunakan. Pada zaman Jahiliyyah kata Adab berarti "الدعوة إلى الطعام" (mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan). Kemudian dengan berjalannya waktu kata adab dipakai sebagai kata yang mencakup pendidikan baik lisan atau budi pekerti (akhlak). Pada zaman Umayyah, kata Adab mempunyai arti at-Ta'lim (pengajaran), sehingga dari kata itu lahir kata turunan al-Mu'addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang masa itu bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah orang-orang Arab, mulai  dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada putera-putera khalifah. Sementara pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, kata adab mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta'liimu ma'an (pendidikan sekaligus pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu (Helmi, 2010:5)
Dalam catatan Juzif al-hasyim beberapa definisi modern tentang sastra adalah sebagai berikut :
الأدب صياغة فنية لتجربة بشرية
“Sastra adalah ungkapan puitis tentang berbagai pengalaman manusia”
الأدب تعبير عن الحياة وسيلته اللغة
“Sastra adalah ungkapan tentang kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya”
الأدب من مولدات الفكر البشري المعبر عنها بأسلوب فنى جميل
“Sastra adalah hasil pemikiran manusia yang diungkapkan dengan ungkapan yang mengandung seni dan keindahan”
الأدب فن التعبير الجميل   
“Sastra adalah seni ungkapan yang indah”
Dari berbagai definisi yang telah disebutkan semuanya sepakat pada kesimpulan bahwa pengertian sastra yang telah disepakati adalah seni ungkapan kata yang indah (Wildana dalam Hasyim, 2008: 14) .


2.2  Interaksi dan Pencampuran Sastra pada Masyarakat Islam Baru di Jazirah Arab
2.2.1. Sastra pada Masa Jahiliyyah
Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan kemah, alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.
Pada umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keadaan hidup masyarakat dikala itu, keberadaan kemah, mengenang puing-puing masa lalu yang telah hancur, hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan (Helmi,2010:34-35)           
2.2.2 Sastra pada Masa Shadrul Islam
Shadrul Islam meliputi periode Nabi maupun periode kekhalifahan Rasyidun dan Umawi. Wilayahnya meliputi Arabia, wilayah Asia Barat serta Afrika Utara yang dijadikan bagian dari negara Islam. Meski mengalami Islamisasi, wilayah ini tetap mengalami Arabisasi oleh karena itu penduduk aslinya hampir tak menyumbang kontribusi apapun dibidang sastra. Sastra secara eksklusif dihasilkan oleh orang Arab jazirah baik di dalam jazirah maupun setelah berimigrasi dan mulai tertancap kuat di daerah- daerah yang mengalami Islamisasi ( Ismail al Faruqi, 1998: 379).
Turunnya al-Quran dalam sejarah menimbulkan dampak yang luas. salah satu contoh sempurna keagungan bentuk dan isi  al-Qur’an yang melahirkan pengaruh agung yakni bila pembacanya berbahasa Arab, maka kebanyakan pengIslaman terjadi begitu al-Qur’an dibacakan. Kesadaran sastra mereka yang di disiplinkan dan di persiapkan selama berabad-abad seakan bernilai rendah begitu disandingkan dengan sastra al-Quran. Wahyu ilahiyah yang mereka baca maupun yang mereka dengar menguasai jiwa, pikiran dan hati serta kehendak mereka.
Keterpesonaan mereka akan ketinggian sastra al-Quran membuat mereka merendah diri dan untuk sementara menghentikan produktivitas sastra, sementara sebagian tak menciptakan syair lagi dan memilih al-Quran selamanya. Tentu saja, pengalaman agung ini mempesona mereka. Mereka menganggap begitu tinggi diri mereka karena keunggulan sastranya. Kini datang kepada mereka sesuatu yang mengungguli mereka dalam bidang itu, dan membuat mereka tertinggal tak berdaya. Al-Qur’an benar-benar menghancurkan kesombongan mereka. Syair sastra yang paling jeniuspun melemah di hadapan keperkasaan al-Quran.
Ismail al-Faruqi mengatakan dalam bukunya Atlas Budaya Islam (1998:377) bahwa di sepanjang dunia muslim maupun sejarah muslim, al-Quran menjadi sastra paling ideal yang tak tertandingi. Sebelum zaman kolonialisme, ketika kekuatan asing memaksakan penggantian tulisan Arab dengan tulisan latin dan mulai mempengaruhi selera masyarakat muslim, mula-mula melalui sistem pendidikan Barat dan kemudian melalui media massa terbaratkan, hampir semua sastra karya muslim merefleksikan karakteristik tradisional al-Qur’an.
Kelahiran Islam di tanah Arab membawa pengaruh besar terhadap corak kesusastraan Arab, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Penghapusan sebagian corak kesusastraan Arab Jahiliyyah
2.      Menciptakan suatu corak baru yang sesuai dengan Islam
3.      Mengembangkan sebagian corak lama yang sesuai dengan Islam
Adapun yang dihapuskan oleh Islam seperti puisi yang berupa mantra yang digunakan oleh dukun. Dan corak baru yang diciptakan oleh Islam ialah timbulnya macam-macam cabang tata peraturan dan undang-undang baik dalam syari’at Islam maupun dibidang bahasa itu sendiri, seperti, timbulnya ilmu balaghah, nahwu, ilmu ‘arud dan lain-lain.
Sedangkan corak lama yang dikembangkan oleh Islam adalah bidang puisi dan khutbah, karena dua macam corak ini sangat besar jasanya dalam membantu meluaskan penyiaran dakwah Islam kepada seluruh bangsa Arab karena bangsa Arab sangat gemar terhadap dua bidang ini.
Dari sudut pandang estetika sastra, sastra pada masa shadrul Islam melanjutkan tradisi lama (prosa Arab misalnya) seraya meletakkan dasar bagi gaya Islam baru yakni sebagai berikut:
1.      Keringkasan atau pemantapan makna dalam sedikit mungkin kata. Terlalu sedikit kata akan membuat ungkapan menjadi kabur, terlalu banyak kata akan membuat ungkapan menjadi terlalu rinci atau berlebihan.
2.      Kesederhanaan, tidak terlalu panjang dan bertele-tele.
3.      Talmih, yaitu penunjukan pada makna yang dimaksud tanpa memberikan ungkapan tersurat sehingga memancing pikiran dan mendorong imajinasi untuk menangkap makna yang seakan terselubung.
4.      Jazalah, yaitu rangkaian solid gagasan dan kata seraya melestarikan ucapan indah dan suara merdu. Jazalah memberikan banyak peluang untuk kreativitas pengembangan sastra, dan pengutipan langsung dari al-Quran dan hadis.
2.2.3. Sastra pada Masa Umayyah
Wildana (2008:224), dalam bukunya menyebutkan bahwa masa Umayyah dimulai pada tahun 41 H/ 661 M- 132 H/ 749 H. Dinamakan dengan Umayyah karena masa ini dinisbatkan pada bani Umayyah, yaitu Bani Quraisy. Mereka dapat menduduki tahta setelah wafatnya khalifah Ali ibn Abi Thalib.
Pada masa Umayyah terdapat beberapa aspek yang menjadi petunjuk terhadap perkembangan kebudayaan literer secara umum, di antaranya pidato, korespondensi, dan puisi. Ketiga aspek ini merupakan bagian dari jenis  sastra yang berkembang saat itu. Sastra Arab secara umum terbagi dua jenis, yaitu prosa dan puisi. (Hitti, 2010:312)
Pidato di depan publik dalam berbagai bentuknya telah berkembang dan mencapai puncaknya selama masa Dinasti Umayyah. Pada masa belum mengenal sarana propaganda khusus, berpidato menjadi sarana utama untuk menyebarkan gagasan dan membangkitkan emosi. Sedangkan puisi pada masa ini berkembang dibawah pengaruh politik. Para penyair terbagi atas partai politik. Mereka menanamkan puisi dengan mengungkapkan teori politik baru.
2.2.4.      Sastra pada Masa Abbasiyah
Dalam bukunya Philip K. Hitti (2010:358) mengemukakan bahwa periode Abbasiyah dimulai pada tahun 750M-1258M. Zaman ini tidak hanya ditandai oleh pesatnya perluasan pemerintahan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arab, tetapi juga ditandai oleh pesatnya perkembangan peradaban Islam. Pada zaman itu terjadi perkembangan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk bidang kesusastraan. Berbeda dengan periode sebelumnya, yakni zaman awal datangnya Islam (622-662 M.) dan zaman Umayyah (662-750 M./ 41-132 H.) yang masing-masing berjalan dalam waktu kurang dari satu abad, zaman Abbasiyah berjalan selama lebih dari lima abad. Dalam kurun waktu yang relatif lama itu, telah banyak dihasilkan karya sastra Arab, baik puisi maupun prosa yang mencerminkan kemajuan dan kemajemukan dilihat dari berbagai aspeknya.
 Pada masa ini, Tujuan pengungkapan sastra dan orientasi syair mengalami perluasan, menggunakan ungkapan semarak dan indah sarat dengan kata-kata kiasan yang berirama, singkat, tegas dan sederhana. Begitu juga dalam penulisannya masih mengacu pada penulisan sastra zaman Jahiliyyah. Akan tetapi bahasa pada masa ini mengalami kemunduran karena asimilasi bangsa Arab dengan orang asing yang berpengaruh terhadap kualitas kebahasaan serta sering terjadi kesalahan bahasa. Meskipun demikian Perluasan wilayah kajian sastra  tidak hanya pada wilayah syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku sastra, riwayat dan hikayat (Hitti, 2010: 505)  

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi dan Pencampuran Sastra pada Masyarakat Islam Baru di Jazirah Arab
2.3.1. Masa Jahiliyyah                          
Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan dan percampuran  sastra, akan tetapi yang paling urgen pada masa ini yaitu :
1.      Pasar  Sastra (al-Aswaq)
Ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar umum dan pasar khusus atau lokal (mahalliyah), atau pasar luar dan pasar dalam.  
Ukaz merupakan pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa’dah. Kemudian pasar Majannah, yang dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa’dah. Sedangkan pasar Dzul Majaz  dimulai pada awal bulan Dzul Hijjah sampai dengan tanggal 8, saat hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram. Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan 10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghaftan, Khuza’ah, dan ‘Adhal. Al-Idrisi menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum. Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal 20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir (Wildana Margadinata dan Laily Fitriani, 2008:81).
Orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar karena sebagian besar pasar (Ukaz dan Majannah) berdekatan dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan suku Quraisy yang dilakukan di Mekah karena mereka mendapat kesempatan untuk melakukan jual beli yang membawa keuntungan yang banyak dan pendapatan yang besar, sehingga untuk menyelamatkan musim ini, Quraisy dengan sekuat kemampuannya menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan yang pantas bagi mereka. Dan dikarenakan jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy.
Selain itu, pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran penting dalam sastra dan budaya yang dihadiri oleh penyair kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan masyarakat Arab terhadap puisi hampir menjadi sebuah naluriah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan puisi mu’allaqatnya dan mendengarkan puisi para penyair yang terkenal. Begitu juga pasar merupakan tempat diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutaba’ berkumpul dan berlomba-lomba dalam berpuisi dan berkhotbah (Wildana Margadinata dan Laily Fitriani, 2008:85).
1.      Ayyam al-‘Arab
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan ‘hari-hari orang Arab’ (ayyam al-Arab). Ayyam al-Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, dan memunculkan sejumlah pahlawan lokal serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun demikian, Ayyam al-Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang Badui, yang biasanya hidup dalam kondisi kelaparan.
Ayyam al-Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema puisi Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan puisi-puisi hija’nya. Puisi-puisi legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti puisi-puisinya Antarah, Syanfara dan lainnya (Wildana Margadinata dan Laily Fitriani, 2008:86).
2.3.2. Masa Shadrul Islam
Faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan dan percampuran sastra pada masa shadrul Islam adalah :
1.      Pengaruh al-Quran terhadap bahasa Arab
a)      Menjaga bahasa Arab dari kemusnahan dan menjamin keabadian bahasa Arab
b)      Mempersatukan lahjah Arab dalam lahjah Quraisy
c)      Mempersatukan aturan-aturan al-Qur’an dengan menggunakan sebagian lafad-lafad Islam, seperti mukmin, kafir, munafik, puasa, zakat, dan sebagainya.
d)     Mensucikan lafad-lafad dan susunan-susunan al-Qur’an
e)      Al-Qur’an sebagai sebab dalam penyebaran bahasa Arab di negara-negara yang ditaklukkan kaum muslimin
f)       Al-Qur’an sebagai sebab dalam perkembangan ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu syari’at seperti tafsir, fiqih dan tauhid
2.      Pengaruh hadis terhadap bahasa Arab
a)      Para ahli tafsir bersandar pada hadis-hadis Rasul dalam menafsirkan kalamullah dan dalam mengambil hukum syari’ah
b)      Menemukan bahasa, baik dari segi pemikiran ataupun lafad-lafad yang baru
c)      Terpegaruhnya susunan dan gambaran para ahli pidato dan penulis serta penyair dengan apa yang mereka salin dari hadis Nabi (Wildana dan laily dalam al-Maliji,2008:240-241) .
2.3.3. Masa Umayyah
Berikut ini diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan dan percampuran sastra Arab pada masa daulah Umayyah:
1.      Munculnya partai-partai atau golongan-golongan politik, sehingga setiap golongan atau partai memiliki penyair yang mendukung dan membela golongan atau partai politiknya.
2.      Kembalinya rasa fanatisme kesukuan di antara kaum muslimin pada waktu itu.
3.      Munculnya persatuan dari sebagian penyair dan puisi sebagai sarana mencari penghidupan.
4.      Persaingan antara penyair untuk berusaha menjadi penyair paling unggul dan berkulitas, sehingga mereka mendapat hadiah atau imbalan dari khalifah atau para pemimpin suatu golongan atau partai politik.
5.      Kehidupan yang makmur(hedonisme) menyebabkan para penyair merubah jenis puisinya pada puisi tentang cinta( ghazal), disertai menjamurnya tempat-temapet hiburan(wildana & laily, 2008: 280).
2.3.4. Masa Abbasiyah
Di masa ini sastra berkembang pesat karena dilatar belakangi oleh beberapa sebab, antara lain:
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadi perkembangan dan percampuran sastra pada masa dinasti Abbasiyah, yakni:
1.      Stabilitas politik,
2.      Kemajuan sektor ekonomi (kesejahteraan masyarakat),
3.      Berkembangnya sistem pendidikan dan meningkatnya semangat pengembangan ilmu pengetahuan,
4.      Interaksi antar budaya dan peradaban yang semakin meningkat,
5.      Popularitas para sastrawan,
6.      Kualitas karya sastra semakin meningkat, 
7.      Perkembangan variasi genre sastra,
8.      Apresiasi masyarakat dan pemerintah yang tinggi terhadap karya sastra.

 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sastra merupakan salah satu bentuk peradaban yang sangat berpengaruh dalam kehidupan, yang mana sastra sendiri memiliki pengertian yang berbeda-beda dalam setiap masa. Pada masa Jahiliyyah sastra mempunyai arti mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan, pada zaman Umayyah, mempunyai pengajaran Sementara pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, sastra mempunyai arti pendidikan sekaligus pengajaran atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu.
Ketika masa Jahiliyyah sastra menggambarkan keadaan masyarakat di kala itu, akan tetapi setelah Islam datang sastra dipengaruhi oleh Al-Quran dan menciptakan suatu corak baru yang sesuai dengai Islam, sedangkan pada masa Umayyah sastra dipengaruhi oleh politik begitu juga di masa Abbasiyah terjadi perluasan wilayah kajian sastra yang tidak hanya pada wilayah syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku sastra, riwayat dan hikayat.

 
DAFTAR PUSTAKA
Al Faruqi, Ismail dan Lois Lamya al Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam. Bandung:       Mizan
Hitty, Philip K. 2010. History of  the Arabs. Jakarta: Serambi
Margadinata, Wildana dan Laily Fitriani. 2008. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: Uin Malang Press
Setiawan, Helmi. 2010. Pengantar Sastra Arab ( Sebuah Catatan Akhir). File word diseminarkan dalam rangka pemberian materi perkuliahan mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang.
Teeuw. A.  1984. Sastra dan Ilmu  Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar